Saya masih inget masa-masa kuliah dulu. Dimana banyak teman dan rekan-rekan saya sesama mahasiswa ikut demo soal pendidikan murah. Pendidikan gratis malah. Tidak ada yang salah dengan aktifitas itu. Hanya, saat ini saya cuma bisa tersenyum simpul. Ya, karena ketika menjalani proses belajar tesebut, saya menemukan kesimpulan yang berbeda.

Universitas Kehidupan

Ya. Kesimpulan saya saat ini berbeda. Pendidikan itu mahal. Sangat mahal. Dan saya membayarnya dalam sebuah institusi pendidikan yang maha dahsyat, tiada satupun institusi yang bisa menyaingi metode pembelajarannya. “sekolah” tersebut bernama alam semesta. Saat ini saya cuma bisa bersyukur, betapa murahnya biaya kuliah saya dulu, meski hasil yang saya peroleh dari kampus memang ngga ada apa-apanya dibanding “sekolah semesta”.

Dari lama saya menganut konsep ini, alam takambang jadi guru, sebuah pepatah dari kampung halaman yang jadi salah satu pepatah favorit saya. Pepatah yang sering saya pakai ketika saya ingin menjelaskan kepada orang lain tentang saktinya internet. Sebagai alat, internet adalah alat yang cukup dahsyat dimata saya. Disana saya bisa belajar dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Internet bisa membuka cakrawala dan membuka kesempatan siapa saja untuk berpengetahuan. Sehingga tidak jarang dalam guyonan sehari-hari, saya dan teman-teman sering bilang kl ditanya “lulusan mana?” Dan akan dijawab “lulusan universitas google”

Tapi saya saat ini memahami ada universitas yang lebih sakti dari google. Ya, melalui internet saya bisa belajar banyak hal. Ber milyar-milyar informasi terdapat didalamnya. Internet seolah sebuah lautan informasi tanpa batas. Samudera pengetahuan. Namun tidak semua ilmu dan pengetahuan yang tersedia di ranah ini. Ilmu itu saya bahasakan sebagai “makna”.

Ya, ada universitas yang lebih sakti dari itu semua. Sekolah itu bernama alam semesta. Disekolah ini saya belajar akan makna. Alam semesta bukan saja menyediakan lautan informasi, tapi juga makna, hidayah, kematangan, kedewasaan.

Alam bukan sekedar mengajarkan tentang resistor, dioda, pcb dll. Tapi mengajarkan saya bagaimana agar komponen2 elektronik itu menjadi perangkat elektronik yang berfungsi dan berguna. Alam tidak saja mengajarkan saya tentang batu bata, semen, kusen, dll. Tapi mengajarkan saya bagaimana membuat rumah yang indah, asri dan nyaman. Alam mengajarkan saya dengan cara yang sangat luar biasa. Alam tidak hanya mengajarkan saya tentang definisi, teori, dll. Tapi alam mengajarkan saya, sehingga saya merasakan sakitnya kena solder, nyerinya terkena paku, efeknya jika salah membuat pondasi, salah memasang transistor, dsb. Tentu saja alam juga mengajari saya tentang nikmatnya ketika komponen yang saya satukan menjadi tape recorder yang enak untuk di dengar, ketika tumpukan bata yang saya susun pada pondasi rumah menjadi rumah nan asri, rindang, nyaman, tenang dan menyejukkan.

Alam juga tidak hanya menyentuh area fikiran saya. Alam juga menyentuh area rasa, membelajarkan seluruh tubuh luar dan dalam secara utuh. Dan yang paling penting, alam juga mengajarkan saya, bahwa diluar sana ada sesuatu yang kekuatannya diatas segalanya, dan ada saatnya dimana saya sadar, bahwa hidup, dunia, alam semesta, tidak berputar dengan saya sebagai pusatnya.

Dalam satir, saya sampai sampai pada sebuah kesimpulan. Ketika dulu manusia menganggap bumi adalah pusat alam semesta (atau mungkin bentuk ungkapan heroisme manusia?), dan seluruh semesta ini berputar mengelilingi bumi, lalu teori ini dibantah dengan lahirnya teori heliosentris-nya nicolaus copernicus yang diperkuat oleh galileo, kepler, newton, bahwa planet-planet yang ada berputar mengelilingi matahari, maka saya punya teori baru. Tidak. Bukan bumi pusatnya alam semesta. Juga bukan kuasa matahari yang menyebabkan planet-planet berputar mengelilinginya. Tapi semua bekerja, atas izin-Nya.

Sering saya mendengar cerita tentang adanya kekuatan yang maha dahsyat itu. Namun alam telah menyempurnakan pemahaman saya. Dan untuk mendapatkan pemahaman itu, ternyata menghabiskan waktu yang tidak sebentar, energi yang tidak kecil, dan investasi yang sangat besar.

Ya, saya mungkin termasuk kategori “mokong”. Tidak sedikit “guru” yang telah mengajari saya. Tidak sedikit teman yang mengomentari hidup saya. Namun kekerasan kepala saya akhirnya membentur sesuatu. Setelah menghabiskan waktu, energi, investasi dll yang luar biasa. Sungguh sebuah proses pembelajaran yang sangat mahal.

Apakah saya orang yang beruntung? Atau justru malah orang yang bodoh? Entah lah. Mengutip pendapat seorang teman, saat ini saya cuma ingin berpendapat, “ngga penting lagi”. Tapi saya akan menjadi benar-benar dan sangat bodoh, jika kebodohan, kesalahan, ke-grasa-grusu-an, dan lain sebagainya tidak menghasilkan makna apapun dalam hidup saya. Semoga saya tidak perlu jadi seperti thomas alfa edison yang harus melalui 9999 kegagalan untuk menghasilkan 1 keberhasilan. (inget cerita tentang thomas alfa edison yang kira2 sebagai berikut : ketika dia ditanya “apa keberhasilan terbesarmu dalam hidup”, dan dia menjawab “melakukan 9999 kegagalan, karena peristiwa itulah yang menyebabkan saya bisa menghasilkan bola lampu”).

Beberapa waktu yang lalu kepada seorang rekan hampir menyentuh titik keputus asaannya, saya sempat berkomentar :

“Hanya 2 kelompok manusia yang pantas yang layak untuk putus asa, yaitu seorang pengecut dan orang yang tidak mengenal Tuhan.”

Saat ini, mengingat peristiwa tersebut, saya hanya tersenyum kecut. Benar kata orang, satu tangan menunjuk kepada orang lain, 4 jari menuju diri sendiri. Karena saya fikir, ketika saya menyampaikan pesan itu untuk membangunkannya, pesan itu sebenarnya untuk saya sendiri.

Dan berbahagialah mereka yang tengah di uji. Karena saat itu alam tengah mengajarinya ilmu-Nya dengan suka rela….