Terkadang saya sering menanyakan ini pada diri saya sendiri [lebih ketika saya berfikir jika hidup saya tak berarti]. Pernah saya dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa, mengikuti kuliah tentang enterpreneur yang waktu itu di isi oleh Tanadi Santoso selaku salah satu dosen umum enterpreneurship kala itu. Inti meterinya adalah sebuah pencerahan hidup, “ketika semua terasa tak seperti yang kita inginkan”. Kata-kata itu sangat membuat saya terkesan dan tersenyum, hidup itu ibarat kita membangun sebuah rumah. Nah, awalnya Pak Tan menyampaikan cerita seperti ini :
“Diceritakan alkisah ada seorang perngrajin kayu yang diberi tugas membuat rumah oleh seorang saudagar yang biasa memberinya tugas. Kali ini ia harus membangun rumah itu sendiri tanpa bantuan orang lain, maka menggerutulah ia. Upahnya pun sama, pengrajin itu terus menggerutu hingga akhirnya ia membangun juga rumah itu, tiap pahatan yang ia buat itu tak sungguh-sungguh, ia membuat asal-asalan saja….hingga akhirnya jadilah sebuah rumah yang dipesan saudagar itu, rumah yang biasa-biasa saja, dengan ukiran yang dibikin bukan dengan kesungguhan namun hanya sebatas rata-rata saja. Lalu sang saudagar itu tiba-tiba memberikan kunci rumah itu kepada si pengrajin kayu, rumah yang ia buat itu adalah hadiah untuknya. Lalu menyesallah ia, jika ia tahu rumah itu adalah rumah untuknya maka ia akan membuat rumah itu sekokoh mungkin, dengan ukiran seindah mungkin, dan hasilnya tak akan hanya rata-rata saja.
Dari cerita di kuliah saya itu, ada satu hikmah, ibaratkan hidup itu seperti membangun rumah, dan Tuhan diibaratkan sebagai saudagar yang memberi tugas itu, dan rumah yang dibangun adalah rumah yang hanya bisa di bangun satu kali saja. Maka bangunlah rumah “hidup” sebaik mungkin. Mungkin saja hidup itu tak semulus yang kita inginkan tapi paling tidak kita mengingat jika saat hidup kita tak sejalan dengan apa yang kita inginkan maka itu adalah langkah saat kita sedang membangun rumah kita, rumah yang kelak kita huni dan kita banggakan keindahannya. Intinya semua usaha dan optimalisasi kerja keras yang kita lakukan hari ini, akan kita rasakan hasilnya di kehidupan di masa mendatang”
Setelah Pak Tan menyudahi cerita itu, seorang sahabat yang duduk di samping saya nyeletuk seperti ini : “Hidup itu tidak lain dari sebuah fase semu yang pada akhirnya akan berujung pada kenihilan…”, mendengar ucapan itu , saya kaget dan seketika itu pula membuyarkan konsen saya yang sedari awal terfokus pada materi kuliah. Setelah mikir2 sejenak akhirnya saya ngerti juga maksud sahabat saya itu, yup….inti ajaran tao dan budhiisme, saya sangat menyadari hal itu karena sahabat saya itu adalah pemeluk budha yang taat. Well, saya kurang sependapat tentang “argument” sahabat saya, hal ini bukan berarti saya menyalahkan apa yang tadi sempat ia katakan. Ada dua alasan yang sebetulnya membuat saya kurang sependapat. Yang pertama saya bukanlah penganut tao dan budhiisme, dan yang kedua karena otak saya punya pendefinisian sendiri tentang hal itu. Ok, ayo kita definisikan menurut otak saya tentang ucapan sahabat saya tadi.
“Hidup itu tidak lain dari sebuah fase semu yang pada akhirnya akan berujung pada kenihilan”. Bila mati itu dianggap kehampaan, itu artinya tidak ada apa-apa dengan yang namanya mati. Padahal —masih menurut saya— manusia yang menuju kematian membawa segala amalnya untuk dipertanggungjawabkan. Dan bukan menuju titik nol.
Bila yang dimaksud materi, iya … Kita tidak membawa apa-apa. Artinya, sejak lahir tidak punya apa-apa dan matipun tidak membawa apa-apa. Itu bila diasumsikan apa-apa itu adalah materi atau sesuatu yang mempunyai bentuk.
Namun, bila mau dipahami, kita terlahir membawa “sesuatu”. Ada kebesaran Tuhan di sana. Dan matipun juga membawa kebesaran Tuhan. Silahkan anda menafsirkan sendiri apa itu “sesuatu”.
Jadi … Kematian itu tidak bisa diasumsikan sebagai roda yang kembali ke titik awal alias titik 0 kilometer. Titik dimana dulu semua kita berada, berbeda dengan titik yang akan kita tuju.
Coba saya ilustrasikan begini. Semoga bisa dipahami. Semesta ini mulai dari bumi, langit, dan seluruh jagad semesta ibarat sebuah hotel yang terdiri dari banyak kamar dan banyak lantai. Jadi, sejak kita belum lahir, lalu lahir, dan akhirnya mati, tetap berada di hotel yang sama namun berbeda lantai dan kamar.
Ok, kembali ke topik awal, kalo saya prinsipnya sama dengan cerita tentang orang yang disuruh bikin rumah tadi… Lakukan yang terbaik… Even pekerjaan itu tidak menyenangkan kita… Karena pada akhirnya, kita akan “memetik” buah yang… “manis”. Kayak kita di suruh ibadah, mungkin sering kali mengeluh, ya contohkan lah shalat, puasa, atau beramal dari sedikit rejeki yang kita punya. Terkadang kalo kita lagi nggak ikhlas, ada keengganan untuk melakukan hal “ibadah” tersebut karena niatnya yang cuma setengah hati. Do your best, and let God do the rest.
Kalo dibikin penjabaran yang lebih simple lagi, hidup, buat saya, hmmmm (sambil garuk2 kepala)….apa ya? Saya cuma menjalani semua yang diberikan Tuhan, melakukan yang terbaik sebisa saya, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, sambil tetap memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bermimpi dan mengejar mimpi-mimpi itu. Kalau di perjalanan sesekali saya berbuat kesalahan, itu karena saya hanya manusia biasa.
Kadang kita memandang hidup dari apa yang kita interpretasikan, bukan dari apa yang kita pahami. Mata kita hanya melihat apa yang mata kita ingin lihat, bukan melihat prespektif yang secara “utuh”general dari hati. Ada yang ga sejalan, HAJAR! Ada yang menghalangi, TEMBUS!. Hidup menjadi semu karena subjektifitas, penginterpretasian hidup yang berbeda justru menjadikan hidup itu lebih hidup. Hidup itu pilihan…hidup itu mensyukuri…hidup itu menyayangi..menyayangi siapapun tak terbatas lawan jenis atau pasangan. Yang lebih utama adalah menyanyangi Tuhan tentunya.
Hidup itu adalah perjalanan, perjalanan mencari…. Mencari apa ya kalo menurut anda masing2?.Kalo saya lebih menterjemahkan untuk mencari esensi ketuhanan dalam hidup saya, agar sisi spiritualitas saya bisa terbangun dengan kokoh. Essensi lain dari hidup itu adalah sebisa mungkin berguna buat orang lain…ketika masih hidup pastinya…
Eniwei, kalo tulisan dan pendapat saya ada yang salah, silahkan di counter, di kritik, di kasih saran atau masukan. Bila ada yang menambahi, dengan senang hati diterima sebagai bagian dari menambah pengetahuan baru.
yangputri said:
Nice posting dan terima kasih atas pencerahannya
Salam
hanyanulis said:
Salam hormat untuk yangputri, makasih atas kunjungannya. 🙂
darahbiroe said:
lha kok modelnya malah sahabatanya
gak anda sendiri sob hehehhe
😀
hanyanulis said:
Ok. next time saya akan mampang foto kamu aja mas…yang penting “isinya” mas, not just cover only … 🙂
sunarnosahlan said:
turut menyimak: betapa indahnya
hanyanulis said:
Makasih atas apresiasinya Pak sunar.Salam hormat saya untuk anda 🙂
elmoudy said:
setujuh bro… hidup akan lebih menantang dan banyak makna dan inspirasi.. kalau berani terjjun ke dunia enterpreneur.. berani berada di antara garis ekstrem.. mau miskin beneran atau kaya beneran. mau jeblok sekalian.. atau sukses sekalian. pokoknya tidak ada tanggung tanggung. pengalaman itu sangat berharga untuk kedewasaan n kematangan hidup kita kan broo…
hanyanulis said:
Makasih mas el atas tambahannya. Intinya, kita ndak boleh jadi orang yang setengah2. Kalo mau putih, ya putih sekalian. kalo mau hitam, ya hitam sekalian. Orang yang setengah2 ndaka akan pernah menemukan hasil maksimal atas semua yang dikerjakannya…tapi yang penting, ibadah dan totalitas keimanan kita terhadap Allah harus maksimal. Ndak boleh setengah2… 🙂
Ade Aiz Aumadah said:
semoga hidupku pun dipenuhi dengan pencerahan..
hanyanulis said:
Semoga pencerahan yang mbak ade dapatkan , juga bisa di share ke kita semua..Ayo berlomba-lomba mengejar kebaikan mbak 🙂
cempaka said:
Wah penjelasanx tentang hidup n matix sip bgt , ngena bgt, *mulai menata pikiran lg nich*
nice post,
😀 keep share ya
hanyanulis said:
Ok.makasih atas kunjungannya. Kunjungan selanjutnya, saya nantikan lagi mbak. 🙂
bluethunderheart said:
artikel yang meluas dan baik,kawan
salam hangat dari blue
hanyanulis said:
Salam hormat juga buat blue..makasih kunjungannya..Semoga artielnya juga bisa menginspirasi kita untuk senantiasa mengingat esensi Allah dalam kehidupan ini 🙂
septarius said:
…
Yup aku setuju mas, jalanin hidup sebaik mungkin di setiap hari…
Selain itu menurut saya suatu proses lebih penting daripada hasil akhir..
🙂
-Salam dari cah kediri-
..
hanyanulis said:
Oalah, ngendi tho mas omahmu kuwi, aku biye yo sering tenang dulan nang kediri ????
Matur nuhun atas apresiasi panjenengan mas 🙂
delia4ever said:
Hidup ini adalah proses…
setuju ama kamu… 🙂
hanyanulis said:
Jempol buat mbak delia..Like this 🙂
Asop said:
Saya sih simpel aja.
Hidup harus dinikmati. 🙂
hanyanulis said:
Saya juga setuju dengan tagline di blog kamu itu, ayo kita menikmati hidup dengan beresyukur, sebelum suatu saat, hidup kita akan di ambil kembali oleh Allah, toh hidup ini adalah titipan semata 🙂
budiastawa said:
Mas Dika, salam kenal.
Ttg si tukang kayu tadi, harusnya dia melakukan segala pekerjaan dengan ikhlas, tanpa muatan apapun.
Ttg hidup, saya salut dgn perkataan teman anda; ‘Hidup adalah fase semu yg berujung pada kenihilan’. Iya, hidup ini: Kosong tapi berisi, Berisi tapi sebenarnya kosong. Ikhlas adalah kuncinya. Jatuh ke dunia ini, tidak ada yang tidak menderita. Netralisir aja dengan ikhlas.
hanyanulis said:
Salam kenal juga untuk Mas Budi. Terima kasih atas kunungannya. Interprestasi hidup memang subyektif tergantung dari seberapa nilai pengetahuan dan penghayatan masing2 tentang hidup itu. Ikhlas itu adalah reward tertinggi bagi seseorang yang lulus dari ujian sabar. Dan sabar itu adalah pelajaran yang paling sulit menurut saya mas 🙂
Danu Akbar said:
wah.. bingung nih mau comment apa.
sorry ya 😀
hanyanulis said:
Ndak usah binggung mas, tenang aja, komen itu hukumnya sunnah koq, yang wajib cuma menghayati apa yang cobna saya sampaikan lewat tulisan itu 🙂
semoga bisa membawa hikmah 🙂
Meliana Aryuni said:
Pelajaran yang berharga dari dosen yang luar biasa….Keikhlasan berbuat, membuahkan hasil yang tiada terduga….
hanyanulis said:
Beliau menjadi dosen saya, saya yakin itu juga karena takdir Allah. Jadi intinya semua pelajaran yang berharga yang saya peroleh adalah sudah dirancang oleh Allah, sebagai pepbuat skenario dalam kehidupan kita 🙂
achoey said:
Pencerahan yang indah
sobat 🙂
hanyanulis said:
Thank U sobat atas kunjungannya 🙂
Donny said:
Setuju mas. Mungkin itu kali ya yang nyebabin ada istilah berani mati, tapi ga ada istilah berani hidup?
hanyanulis said:
Berani mati ataupun berani idup, semua perlu kebranian untuk menanggung konsekuensi. Kalo bernai hidup, konsekuensinya akan di contoh orang lain, karena mungkin semua usaha dan totalitas kita bisa menjadi teladan, smentara yang berani mati, kadang menjadi bahan cemoohan, karena di anggap kayak pengecut yang harus berpasrah pada kematian karena ketidaksanggupan mereka melawan beban hidup ini 🙂
ekopras said:
sungguh2 di semua aktivitas kita ya….itu energi utama
hanyanulis said:
Energi dari semua totalitas kita untuk menjalani semua tantangan hidup 🙂
www.budies.info said:
senang rasanya masih bisa berkunjung di rumah sahabat di akhir pekan ini, salam dari kalimantan tengah 00:29
hanyanulis said:
Salam hormat untuk mas budi, terima kasih atas kunjungannya 🙂
jalandakwahbersama said:
Assalamu’alaikum, melakukan segala seuatu dengan kesungguhan dan tidak setengah2, akan memberikan hasil yang maksimal (Dewi Yana)
hanyanulis said:
Walaikumsalam wr wb, makasih sista’ atas quotenya, semoga next time ada banyak kebaikan yang bisa saya share di sini 🙂
Ifan Jayadi said:
Menjadi hal yang patut saya renungkan tentang makna hidup yang sesungguhnya
hanyanulis said:
Makasih udah mampir mas, semoga perenungannya semakin mempertebal kecintaan terhadap Allah 🙂
Semendo said:
‘Ujung hidup’ itu untuk dipercayai.. Karena tak mungkin tembus oleh logika empiris 😀
hanyanulis said:
Sisi empiris dan logika kita kadang tumpul untuk mengukur semua kema ha dasyatan ilmunya Allah. 🙂
Allah punya cara sendiri untuk menunjukan kemaha besarannya dalam kehidupan tiap personal 🙂
Usup Supriyadi said:
kalau saya lihat pernyataan sahabatmu itu menyiratkan ketiadaan sebuah harapan . “Hidup itu tidak lain dari sebuah fase semu yang pada akhirnya akan berujung pada kenihilan…”
ah, memang ajaran sang budha, isi adalah kosong dan kosong adalah isi . cukuplah kita menghargai pendapatnya .
well, apa yang dipaparkan dalam hal mencari esensi hidupnya menarik . tujukan cinta hanya pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka ia akan menimbulkan rasa kasih sayang antara kita dan sesama kita .
salam kenal .
hanyanulis said:
Salam kenal dan hormat untuk mas usup..makasih atas tambahannya.Semoga next time, mas usup bisa lebih banyak lagi share ilmunya disini 🙂
kutukupret said:
kematian bukanlah titik nol/kehampaan karna saya meyakini adanya kehidupan u/mempertanggung jawabkan perbuatan di dunia
salam kenal, slam silaturahmi
hanyanulis said:
terima kasih, salam ukhuwah. Semoga apa ang saya sampai kan melalui tulisan dan ulasan yang sedserhana bisa membaw sedikit hikmah yang bermanfaat bagi anda 🙂
Sapril said:
Waw… diskusi yang serius sekali. Lintas keyakinan *plus foto yang nyata*.
hanyanulis said:
Terima kasih atas kunjungannya yang kesekian kali pak 🙂
*jabat tangan pak sapril, sambil ngucapin thank u* 🙂
orange float said:
mantap sekali tulisannya. bagus bagus 🙂
hanyanulis said:
Thank u atas apresiasinya 🙂
asfan said:
blog walking today…salam kenal….
nice posting..:)
hanyanulis said:
Teima kasih pak atas kunjungannya. Salam kenal juga, moga lain kali jugfa mampir disini lagi 🙂